Selasa, 21 April 2015

cerpen-ku



My first kiss

Birunya langit yang terselimuti oleh awan gelap sore itu seakan merasakan apa yang hati ini rasakan. Tak dapat diceritakan namun dapat dirasakan, ini sudah mangkuk es krim kedua yang aku lahap sore itu, tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali memalingkan tatapannya dari koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar sana, ada gadis yang masih menikmati es krim, terlebih lagi dengan wajah yang muram.
Hap, sendok demi sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalau bukan dari dirinya.
***
                Enam bulan yang lalu di sini, di Toko Oen, sebuah kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Dan aku percaya itu, karena ruangannya yang bergaya arsitektur bangunan Belanda yang khas dengan langit-langit bangunan yang tinggi, pilar-pilar bangunan dengan cat warna putih yang mendominasi, pintu serta jendela kaca yang berebentuk lebar semakin memperkuat gaya klasik yang ada.  seorang cowok bernama Faruq, seorang mahasiswa UIN maliki Malang jurusan Teknik Informatika yang aku kenal saat kegiatan KKM beberapa bulan yang lalu secara mengejutkan menyatakan perasaannya padaku. Cowok berparas putih bersih itu aku kenal beberapa waktu yang lalu saat kegiatan KKM di Donomulyo, daerah malang selatan. Dia termasuk anak yang pendiam, dia hanya berkata ketika menurut dia itu penting, entah darimana Ia belajar, hari itu kata-kata yang muncul dari bibirnya berhasil mebius hati ini hingga tak dapat berkata apa-apa.
            Beberapa menit  setelah berhasil menguasai diri, akupun melontarkan pertanyaan kepadanya untuk meyakinkan keseriusannya kepadaku.
            “Apa yang membuatmu yakin kepadaku.” Tanyaku.
Hal itu aku tanyakan karena selama masa KKM tak sedikit pun terlihat dia menyukaiku. Kemudian Ia menjawab.
            “Aku yakin, karena beberapa kali aku melihatmu di Istikharahku.”
Jawabannya sontak membuatku kaget, istikharah? Bukannya itu sholat sunah yg dilakukan seseorang ketika mengalami kebimbangan? Dan beberapa orang melakukannya ketika memilih jodohnya. Gumamku dalam hati. Faruq melanjutkan kembali kalimatnya.
            “Iya, beberapa kali aku melihatmu dalm istikharahku, aku melakukannya karena sejak aku melihatmu, aku merasa ada yang berbeda dalam dirimu yang membuat hati ini bergejolak” lanjutnya seolah mendengar isi hatiku.
Kalimat panjangnya semakin membuatku terbang, sesungguhnya tanpa mendengar kalimat yang memabukkan jiwa itu, tak ada satu alasan pun yang bisa aku keluarkan untuk menolaknya, selain dia adalah seorang tahfidz, dia juga sangat baik sengan sesama. Aku mencoba menguasai diriku lagi dan menjawab.
            “Tapi kekurangan dalam diriku, apa kamu bisa menerimanya?” tanyaku sedikit meragukan.
            “Kekurangan apa?” jawabnya.
            “Aku gak bisa pacaran seperti muda-mudi lain, aku gak bisa seperti cewek lain yang bisa dengan leluasa memelukmu sebelum kamu menghalalkanku.”
            “Aku sudah tebak itu, aku siap menunggu pelukan pertamamu di saat aku sudah menghalalkanmu, Adiba.” Tegasnya tanpa sedikit keraguan.
            “Jika memang begitu, bimbing aku untuk menjadi penyempurna agamamu.” Sahutku.
Mendengar jawabanku Ia hanya tersenyum simpul, sejak saat itu kami resmi pacaran.
            Suatu hari, Ia pun membawaku berkenalan dengan keluarganya. Kami pun berkenalan dan menjadi sangat dekat layaknya keluarga kandung, aku sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri.
            Namun cerita itu kandas dua minggu yang lalu, hari dimana aku melihat Faruq di sebuah warung dekat kampus bersama cewek lain, awalnya aku mengira itu hanya teman, tanpa ragu aku pun mendekati mereka dan menyapanya.
            “Hay!” sapaku dihadapan mereka.
            “Eh,, h..hai,” Faruq menjawab dengan sedikit tergagap.
            Cewek itu pun tersenyum, kemudian Ia berkata.
            “Hai..., temannya Faruq ya, kenalin aku pacarnya Faruq.”
Perkataan cewek itu bagai petir di siang bolong yang menyambar hatiku, melihat Faruq hanya terdiam aku pun angkat bicara.
            “Oh, selamat ya, Faruq koq ga bilang sama aku?” mencoba memancing Faruq agar mengatakan sesuatu.
Akan tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Melihat itu akun undur diri seraya berkata.
            “hmm kayaknya aku ganggu deh, aku pulang dulu aja ya...” mecoba tegar dengan hati teriris.
***
            Sejak saat itu, aku menunggu Faruq untuk menjelaskan sesuatu. tiap kali hp - ku bergetar aku berharap itu dari dia, namun itu hanya harapan semu. Sampai hari ini, tak satupun pesan yang Ia kirim, Ia pun tak berusaha menghubungiku, seolah menganggap kisah kami telah usai begitu saja tanpa penjelasan. Sedang asik menerawang kenangan masa lalu yang terbungkus apik oleh suasana klasiknya toko Oen, tiba – tiba  hp –ku   berbunyi, tanda sebuah panggilan masuk. Kulihat layar hp-ku nampak disitu tulisan “Ammi” yang berarti ibunya Faruq yang memanggil. Langsung kujawab panggilan tersebut.
            “Assalamu’alaikum mi, ada apa ya?”
Suara seorang anak kecil menjawab denga nada agak panik.
            “Ini Indah kak, kak, Ammi pingsan”
            “Apa?! Sudah dibawa ke rumah sakit?” jawabku kaget.
            “Belum kak, daritadi aku telfon ka Faruq ga bisa-bisa.”
            “iya tenang ya, kakak segera kerumah.”
Aku pun langsung memabayar es krim yang sudah aku pesan dan bergegas menuju rumah Faruq menggunakan motor matic – ku   tanpa mempeduikan hujan yang sedang turun denga derasnya. Sesampainya di rumah, terlihan Indah, adiknya Faruq sedang mengangis tersedu sambil berusaha menyadarkan Ammi namun usahanya sia-sia. Melihat mobil Faruq terparkir di bagasi, aku bertanya kepada Indah.
“Ndah bisa tolong carikan kunci mobil? Kita harus bawa Ammi kerumah sakit.”
Indah hanya mengangguk dan langsung masuk kamar Faruq. Indah baru berusia 15 tahun wajar kalau dia kebingungan mengahadapi situasi macam ini, terlebih lagi dia belum bisa mengendarai mobil. Lagipula Indah dan Faruq adalah anak yatim, abinya meninggal 3 tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Sejurus kemudian Indah keluar dengan menbawa kunci mobil ditangannya, aku langsung kebagasi guna mengeluarkan mobil, setelah mobil berhasil aku keluarkan, aku kembali masuk dan membantu Indah membopong Ammi ke dalam mobil. Postur tubuh Ammi yang agak berisi membuat Indah dan aku tegopoh-gopoh membopongnya. Setelah berhasil menaikan Ammi ke dalam mobil, kami pun masuk dan  bergegas menuju rumah sakit Lavalet. Dalam perjalanan terlihat Indah yang masih panik dan bingung berusaha menghubungi kakaknya, namun tetap tak  berhasil sampai akhirnya kami sampai di rumah sakit. Para petugas rumah sakit membantu kami memopong Ammi ke atas tempat tidur berjalan, setelah itu Ammi pun di bawa ke sebuah ruangan guna di periksa. Indah dan aku menunggu di luar ruangan.  Kuberitahu Faruq bahwa Ammi masuk rumah sakit lewat pesan singkat yang kukirim kepadanya. Beberapa saat kemudian dokter yang memeriksa Ammi keluar diikuti oleh beberapa suster, Indah dan aku pun datang menghampiri mereka. Inda bertanya kepeda dokter.
“Bagaimana keadaannya Dok?”
“Tidak apa-apa, beliau hanya pingsan mungkin kecapean.” Jawab Dokter sambil tersenyum.
“Syukurlah” batinku bekata, sembari menghela nafas panjang.
“Silahkan, kalian boleh masuk  sekarang” lanjutnya.
Indah dan aku hanya mengangguk, sedetik kemudian.
            “Terimakasih Dok” ucapku.
Setelah Dokter meninggalkan kami, kami pun masuk. Indah langsung menumbruk tempat tidur Ammi dan memeluknya, akupun datang menyusul dan menepuk-nepuk punggung Indah, berusaha menegangkan.
            “Sudah Ndah, jangan khawatir, biarkan Ammi istirahat kita duduk saja smbil nunggu kakakmu” lirihku.
Kami pun berjalan beriringan menuju sofa yang ada di dalam ruangan, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 20.00 wib. Aku melihat layar hp, namun tak ada satupun pesan yang masuk. Kukirim kembali pesan kepada Faruq dengan isi yang sama seperti tadi. Berharap dia bisa segera datang ke rumah sakit.
            Terlihat beberapa kali Indah menguap, matanya yang memerah semakin menguatkan rasa kantuk yang sedang Ia rasakan, kupersilahkan dia untuk tidur dipangkuanku, dan ku usap ubun –ubunya  agar cepat terlelap. Hari semakin malam, Faruq belum juga datang, entah sibuk apa dia sekarang, maklum saja sejak kejadian itu aku tidak pernah melihatnya apalagi bertemu dengannya. Melihat Indah yang tertidur meringkus kedinginan, ku kirim pesan lagi kepada Faruq.
            “Faruq, Ammi dirawat di rumah sakit lavalete, ruangan no 45, kalau kamu sudah gak sibuk, tolong cepat kesini, dan tolong bawakan Indah selimut, kasihan dia kedinginan disini”
Tak berselang lama akupun tertidur dengan posisi kepala menyandar ke sandaran sofa, dengan tangan yang masih menggegam handphone.
***
            Dini hari, aku terbangun karena suara alarm hp-ku yang aku set otomatis. Aku terkaget, keadaan di ruangan itu sudah tak seperti semalam. Indah yang semalam tidur di pangkuanku, kala itu sudah terbaring di sofa yang ada di hadapanku mengenakan selimut tebalnya. Dan aku, aku yang semalam tidur dengan posisi duduk menyandar di sofa, kini kepalaku berada di atas pangkuan yang tak asing bagiku. Tak hanya itu, selembar selimut tebal sudah menutupi tubuhku dari terpaan AC yang ada diruangan itu. Ku tengok perlahan kearah si pemilik pangkuan itu, terang saja, pangkuan itu milik Faruq. Hati ini berdesir tak karuan ketika megetahui aku tidur di pangkuannya. Saat aku masih kebingungan dengan situasi yang ada, tiba-tiba suara Faruq memecah lamunanku.
            “Lanjutkan tidur-mu biy, ini masih jam tiga” bisiknya memecah lamunanku.
Biy? Dia memanggilku dengan panggilan kesayangan seperti dulu ketika kami sedang pacaran, setelah tanpa kabar dan penjelasan atas kejadian dua minggu yang lalu? Gumamku dalam batin. Perlahan aku bangkit dari tidurku,
            “Kenapa bangun?” cegahnya,
            “Aku belum sholat isya” jawabku singkat.
Setelah merasa agak enakan, akupun berjalan keluar ruangan menuju mushola yang ada. Di mushola aku menunaikan sholat isya dan sholat malam dua rokaat. Setelah itu, seperti pada umumnya orang sholat, akupun berdo’a. Berdo’a untuk diriku sendiri, untuk keluargaku dan tidak lupa untuk kesembuhan Ammi. Ketika kupanjaatkan do’a untuk Ammi, tak terasa air mataku menetes dengan derasnya. Bersamaan dengan itu pula kelebatan kejadian dua minggu yang lalu muncul di otakku, di tambah lagi tadi Faruq memanggilku dengan panggilan kesayangannya seperti ketika kita sedang pacaran dulu. Memang tak ada kata putus diantara kita, namun melihat kejadian dua minggu yang lalu dan sikanya yang tak menjelaskan apapun membuatku mengartikan bahwa hubungan kami sudah usai. Entah mengapa Ia setega itu kepadaku, entah mengapa Ia tega bermain dibelakangku, mengingat itu semua dada ini sesak menahan semua rasa yang ada. Air mata tak dapat lagi ku bendung, ku akhiri do’a –ku  dengan  Al-fatihah.
***
 Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah gontai, di depan ruangan yang tak asing bagiku, rasa ragu seketika menghalangiku untuk masuk, aku pun duduk di kursi yang ada di depan ruangan. Dengan tatapan kosong, kuhirup angin pagi yang tak ragu menerpa tubuhku. Beberapa detik berselang, keluar sosok yang sangat ku kenal, meski sudah sangat sering ku menatapnya, tetap saja hati ini tersihir ketika mata ini menangkap paras yang putih bersih.
“Biy, Ammi sudah siuman, beliau nyariin kamu.” Ujarnya datar.
Tanpa pikir panjang akupun langsung masuk.
            “Mmi, bagaimana keadaannya?” tanyaku sembari memegang tangannya.
            “Baik nak, terimakasih ya, sudah bawa Ammi kesini” jawbanya dengan nada suara agak parau.
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ammi. Kemudian terbesit keinginanku untuk pulang, belum sampai ku utarakan niatku, tiba-tiba Faruq berkata.
            “Tenang Biy, Ammi sudah boleh pulang pagi ini” ucapnya smbari tersenyum.
            “Syukurlah” jawabku dengan dada yang sedikit sesak karena panggilan itu.
Akupun mengurungkan niatku untuk pamit, dan memutuskan untuk pulang bersama mereka.
            Pukul 07.00 WIB. Kami berkemas untuk pulang, Ammi yang masih agak lemas dipapah Faruq berjalan ke arah mobil, sedangkan aku dan Indah mengikutinya di belakang dengan membawa barang bawaan yang semalam Faruq bawa. Selama perjalanan aku hanya diam dengan pikiran yang tak karuan. Lubuk hatiku berbisik, “iya aku masih mencintainya” namun kejadian dua minggu yang lalu membuatku berpikir ulang untuk menintainya.
            Setengah jam kemudian kami sampai di rumah Faruq, aku dan Indah memapah Ammi masuk kedalam rumah dan Faruq sibuk memarkir mobil kedalam bagasi, dan membawa barang keluar dari mobil. Rasanya aku tak mau berlama-lama tinggal disana, beruntung hp –ku  berdering kala itu. Ku angkat panggilan tersebut dan terdengar suara yang sangat aku kenal yaitu suara ayahku.
            “Nak ada dimana?” seuara dari seberang begitu aku mengucap salam.
            “Dirumah Faruq yah, Ammi kemarin pingsan” jawabku lirih.
Belum ada jawaban dari ayah, aku melanjutkan kembali ucapanku.
            “Iya yah, Adiba segera pulang” tegas ku.
Setelah menutup telefon akupun pamit pulang dengan mengendarai sepeda motor ku yang kemaren aku tinggal dirumah Faruq.
***
            Sesampainya dirumah, ayah dan ibu langsung bertanya tentang keadaan Ammi. Iya, mereka sudah saling kenal, keluarga kami sudah sangat dekat. Akupun menceritakan keadaan Ammi, tapi tidak dengan keadaan hatiku yang sedang tak karuan karna hubunganku dengan Faruq yang tidak jelas. Ammi pun sepertinya tidak tahu bagaimana keadaan hubungan antara aku dan Faruq. Yang mereka tahu kami baik-baik saja.
            Selepas kejadian itu, tetap tidak ada komunikasi yang jelas diantara aku dan Faruq. Meski Ia tak ada kabar, meski kami tak pernah saling sms –an , entah mengapa aku yakin terhadapnya. Setelah sholat aku terus selipkan namanya setelah nama kedua orang tuaku. 
***
            Beberapa bulan kemudian, sore itu tepatnya tanggal 28 agustus 2015, langit begitu cerah dengan gerombolan awan putih  yang berjalan beriringan. Kala itu aku baru pulang dari tempat kerja merasa sedikit heran melihat rumah yang rame dan banyak orang.
dengan wajah yang agak bingung aku melangkah masuk kedalam rumah lewat pintu samping, terlihat ibu sudah berdandan dengan sangat rapih, kedekati dia dan bertanya.
            “Bu, ada acara apa ini?” tanyaku
            “Sudah, sana siap-siap, bersihkan badanmu dan pakai baju yang ada di tempat tidurmu” tukas Ibu.
Aku semakin bingung mendengar jawaban ibu, namun kuturuti saja apa yang Ibu suruh. Begitu aku masuk kamar, aku di kagetkan dengan sebuah gaun yang sudah ada di atas tempat tidurku. Sebuah gaun yang sangat apik, sebuah gaun yang tak biasa. Saat aku masih kebingungan sambil memegang-megang gaun itu, suara ibu dari mulut pintu mengagetkanku,          “Sudah, jangan diliatin terus, buruan mandi terus pakai gaun itu” tegurnya.
Akupun menuruti apa yang dikatakan ibu, aku memakai gaun itu dengan satu pertanyaan besar dikepalaku. Apa ini semua?
            Kreek..!! suara pintu kamarku dibuka, terlihat ibu disana.
            “sudah siap nak?” tanyanya.
            “sudah bu,” jawabu singkat
            “Ayo keluar, sudah ditunggu”
Jawaban ibu semakin memperbesar tanya yang ada di kepala. Namun aku tetap menurutinya, berharap akan segera mendapat jawaban atas segala tanyaku. Ibu menggandengku menuju ruang tamu, sesampainya di ruang tamu, kulihat sosok yang sudah lama tidak aku temui, sosok yang pernah mengiris hatiku, sosok yang pernah membuatku resah, sosok yang namanya selalu aku selipkan setelah nama kedua orang tuakkku. Faruq, Ia duduk di dampingi oleh walinya berhadapan dengan bapakku dan seorang penghulu. Hari itu Ia memenuhi janjinya untuk menghalalkanku.
Wajahnya begitu bersih dengan peci hitam yang Ia kenakan, hati ini tak karuan melihat sosok yang selalu aku sebut dalam do’a datang dengan serombongan keluarga meminangku, air mata tak berhasil aku bendung. Aku terisak dalam haruku.
Selesai acara, aku dan Faruq berbincang empat mata, Ia menjelaskan kejadian beberapa bulan yang lalu ketika ku memergokkinya dengan wanita lain. Ia pun menceritakan tentang kedua orang tuaku yang ia ajak untuk kerja sama tentang acara hari ini, sungguh ini semua di luar perkiraanku. Masih tak percaya dengan semua yang terjadi, tiba-tiba Ia mendaratkan ciumannya di keningku. Aku terkaget namun tersadar bahwa Ia sudah halal melakukannya, akupun tersenyun haru. Mulai hari itu hidupku berubah, aku tak lagi resah dan kebahagiaan datang di keluarga kecil kami.
Faruq pun mengajakku untuk tinggal di semuah rumah baru yang telah Ia siapkan. Sebuah rumah yang Ia bangun dari hasil keringatnya sendiri. Aku tak menyangka, ternyata selama Ia menghilang dari hadapanku Ia justru sibuk memersiapkan sebuah hunian yang mungil namun indah yang dilengkapi dengan sebuah taman bermain disampingnya. Kami pun tinggal dirumah itu dan menghabiskan waktu berdua. Mengingat semua kejadian di warung makan dekat kampus itu, ini semua rasanya seperti mimpi yang tak pernah terpikir kepadaku. Mungkin inilah jawaban dari semua do’a yang selalu kupanjatkan kepada-Mu.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirim sebuah pangeran yang selalu membuat hati ini tak henti-hentinya besyukur pada-Mu.
_The End_


Rima Ayu
Indah Siti
Nur Iid
Chorida
3.5
3.5
4
3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar