My first kiss
Birunya langit yang terselimuti oleh awan gelap sore
itu seakan merasakan apa yang hati ini rasakan. Tak dapat diceritakan namun
dapat dirasakan, ini sudah mangkuk es krim kedua yang aku lahap sore itu, tak
peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang
sesekali memalingkan tatapannya dari koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia
pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar
sana, ada gadis yang masih menikmati es krim, terlebih lagi dengan wajah yang
muram.
Hap, sendok demi sendok aku nikmati, tatapanku hanya
menatap kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi
kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang memutar scene
demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind
semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya, kalau bukan dari
dirinya.
***
Enam bulan yang lalu di sini, di Toko Oen, sebuah kedai es krim yang
konon katanya sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Dan aku percaya itu,
karena ruangannya yang bergaya arsitektur bangunan Belanda yang khas dengan
langit-langit bangunan yang tinggi, pilar-pilar bangunan dengan cat warna putih
yang mendominasi, pintu serta jendela kaca yang berebentuk lebar semakin
memperkuat gaya klasik yang ada. seorang cowok bernama Faruq, seorang mahasiswa
UIN maliki Malang jurusan Teknik Informatika yang aku kenal saat kegiatan KKM beberapa
bulan yang lalu secara mengejutkan menyatakan perasaannya padaku. Cowok
berparas putih bersih itu aku kenal beberapa waktu yang lalu saat kegiatan KKM
di Donomulyo, daerah malang selatan. Dia termasuk anak yang pendiam, dia hanya
berkata ketika menurut dia itu penting, entah darimana Ia belajar, hari itu
kata-kata yang muncul dari bibirnya berhasil mebius hati ini hingga tak dapat
berkata apa-apa.
Beberapa menit setelah berhasil menguasai diri, akupun
melontarkan pertanyaan kepadanya untuk meyakinkan keseriusannya kepadaku.
“Apa yang membuatmu yakin kepadaku.”
Tanyaku.
Hal
itu aku tanyakan karena selama masa KKM tak sedikit pun terlihat dia
menyukaiku. Kemudian Ia menjawab.
“Aku yakin, karena beberapa kali aku
melihatmu di Istikharahku.”
Jawabannya
sontak membuatku kaget, istikharah? Bukannya itu sholat sunah yg dilakukan
seseorang ketika mengalami kebimbangan? Dan beberapa orang melakukannya ketika
memilih jodohnya. Gumamku dalam hati. Faruq melanjutkan kembali kalimatnya.
“Iya, beberapa kali aku melihatmu
dalm istikharahku, aku melakukannya karena sejak aku melihatmu, aku merasa ada
yang berbeda dalam dirimu yang membuat hati ini bergejolak” lanjutnya seolah
mendengar isi hatiku.
Kalimat panjangnya semakin membuatku terbang, sesungguhnya tanpa mendengar kalimat yang memabukkan jiwa itu, tak ada satu alasan pun yang bisa aku keluarkan untuk menolaknya, selain dia adalah seorang tahfidz, dia juga sangat baik sengan sesama. Aku mencoba menguasai diriku lagi dan menjawab.
Kalimat panjangnya semakin membuatku terbang, sesungguhnya tanpa mendengar kalimat yang memabukkan jiwa itu, tak ada satu alasan pun yang bisa aku keluarkan untuk menolaknya, selain dia adalah seorang tahfidz, dia juga sangat baik sengan sesama. Aku mencoba menguasai diriku lagi dan menjawab.
“Tapi kekurangan dalam diriku, apa
kamu bisa menerimanya?” tanyaku sedikit meragukan.
“Kekurangan apa?” jawabnya.
“Aku gak bisa pacaran seperti
muda-mudi lain, aku gak bisa seperti cewek lain yang bisa dengan leluasa
memelukmu sebelum kamu menghalalkanku.”
“Aku sudah tebak itu, aku siap
menunggu pelukan pertamamu di saat aku sudah menghalalkanmu, Adiba.” Tegasnya
tanpa sedikit keraguan.
“Jika memang begitu, bimbing aku
untuk menjadi penyempurna agamamu.” Sahutku.
Mendengar
jawabanku Ia hanya tersenyum simpul, sejak saat itu kami resmi pacaran.
Suatu hari, Ia pun membawaku
berkenalan dengan keluarganya. Kami pun berkenalan dan menjadi sangat dekat
layaknya keluarga kandung, aku sudah menganggap mereka seperti keluarga
sendiri.
Namun cerita itu kandas dua minggu
yang lalu, hari dimana aku melihat Faruq di sebuah warung dekat kampus bersama
cewek lain, awalnya aku mengira itu hanya teman, tanpa ragu aku pun mendekati
mereka dan menyapanya.
“Hay!” sapaku dihadapan mereka.
“Eh,, h..hai,” Faruq menjawab dengan
sedikit tergagap.
Cewek itu pun tersenyum, kemudian Ia
berkata.
“Hai..., temannya Faruq ya, kenalin
aku pacarnya Faruq.”
Perkataan
cewek itu bagai petir di siang bolong yang menyambar hatiku, melihat Faruq hanya
terdiam aku pun angkat bicara.
“Oh, selamat ya, Faruq koq ga bilang
sama aku?” mencoba memancing Faruq agar mengatakan sesuatu.
Akan tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Melihat itu akun undur diri seraya berkata.
Akan tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Melihat itu akun undur diri seraya berkata.
“hmm kayaknya aku ganggu deh, aku
pulang dulu aja ya...” mecoba tegar dengan hati teriris.
***
Sejak saat itu, aku menunggu Faruq
untuk menjelaskan sesuatu. tiap kali hp - ku bergetar aku berharap itu dari
dia, namun itu hanya harapan semu. Sampai hari ini, tak satupun pesan yang Ia
kirim, Ia pun tak berusaha menghubungiku, seolah menganggap kisah kami telah
usai begitu saja tanpa penjelasan. Sedang asik menerawang kenangan masa lalu
yang terbungkus apik oleh suasana klasiknya toko Oen, tiba – tiba hp –ku
berbunyi, tanda sebuah panggilan
masuk. Kulihat layar hp-ku nampak disitu tulisan “Ammi” yang berarti ibunya
Faruq yang memanggil. Langsung kujawab panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum mi, ada apa ya?”
“Assalamu’alaikum mi, ada apa ya?”
Suara
seorang anak kecil menjawab denga nada agak panik.
“Ini Indah kak, kak, Ammi pingsan”
“Apa?! Sudah dibawa ke rumah sakit?”
jawabku kaget.
“Belum kak, daritadi aku telfon ka
Faruq ga bisa-bisa.”
“iya tenang ya, kakak segera
kerumah.”
Aku pun langsung memabayar es krim yang sudah aku pesan dan
bergegas menuju rumah Faruq menggunakan motor matic – ku tanpa
mempeduikan hujan yang sedang turun denga derasnya. Sesampainya di rumah,
terlihan Indah, adiknya Faruq sedang mengangis tersedu sambil berusaha
menyadarkan Ammi namun usahanya sia-sia. Melihat mobil Faruq terparkir di
bagasi, aku bertanya kepada Indah.
“Ndah bisa tolong carikan kunci mobil? Kita harus bawa Ammi kerumah
sakit.”
Indah hanya mengangguk dan langsung masuk kamar Faruq. Indah baru
berusia 15 tahun wajar kalau dia kebingungan mengahadapi situasi macam ini,
terlebih lagi dia belum bisa mengendarai mobil. Lagipula Indah dan Faruq adalah
anak yatim, abinya meninggal 3 tahun yang lalu karena penyakit jantung yang
dideritanya. Sejurus kemudian Indah keluar dengan menbawa kunci mobil
ditangannya, aku langsung kebagasi guna mengeluarkan mobil, setelah mobil
berhasil aku keluarkan, aku kembali masuk dan membantu Indah membopong Ammi ke
dalam mobil. Postur tubuh Ammi yang agak berisi membuat Indah dan aku tegopoh-gopoh
membopongnya. Setelah berhasil menaikan Ammi ke dalam mobil, kami pun masuk
dan bergegas menuju rumah sakit Lavalet.
Dalam perjalanan terlihat Indah yang masih panik dan bingung berusaha
menghubungi kakaknya, namun tetap tak
berhasil sampai akhirnya kami sampai di rumah sakit. Para petugas rumah
sakit membantu kami memopong Ammi ke atas tempat tidur berjalan, setelah itu
Ammi pun di bawa ke sebuah ruangan guna di periksa. Indah dan aku menunggu di
luar ruangan. Kuberitahu Faruq bahwa
Ammi masuk rumah sakit lewat pesan singkat yang kukirim kepadanya. Beberapa
saat kemudian dokter yang memeriksa Ammi keluar diikuti oleh beberapa suster,
Indah dan aku pun datang menghampiri mereka. Inda bertanya kepeda dokter.
“Bagaimana keadaannya Dok?”
“Tidak apa-apa, beliau hanya pingsan mungkin kecapean.” Jawab
Dokter sambil tersenyum.
“Syukurlah” batinku bekata, sembari menghela nafas panjang.
“Silahkan, kalian boleh masuk
sekarang” lanjutnya.
Indah
dan aku hanya mengangguk, sedetik kemudian.
“Terimakasih Dok” ucapku.
Setelah
Dokter meninggalkan kami, kami pun masuk. Indah langsung menumbruk tempat tidur
Ammi dan memeluknya, akupun datang menyusul dan menepuk-nepuk punggung Indah,
berusaha menegangkan.
“Sudah Ndah, jangan khawatir,
biarkan Ammi istirahat kita duduk saja smbil nunggu kakakmu” lirihku.
Kami
pun berjalan beriringan menuju sofa yang ada di dalam ruangan, tak terasa waktu
sudah menunjukan pukul 20.00 wib. Aku melihat layar hp, namun tak ada satupun
pesan yang masuk. Kukirim kembali pesan kepada Faruq dengan isi yang sama seperti
tadi. Berharap dia bisa segera datang ke rumah sakit.
Terlihat beberapa kali Indah
menguap, matanya yang memerah semakin menguatkan rasa kantuk yang sedang Ia
rasakan, kupersilahkan dia untuk tidur dipangkuanku, dan ku usap ubun –ubunya agar cepat terlelap. Hari semakin malam, Faruq
belum juga datang, entah sibuk apa dia sekarang, maklum saja sejak kejadian itu
aku tidak pernah melihatnya apalagi bertemu dengannya. Melihat Indah yang
tertidur meringkus kedinginan, ku kirim pesan lagi kepada Faruq.
“Faruq, Ammi dirawat di rumah
sakit lavalete, ruangan no 45, kalau kamu sudah gak sibuk, tolong cepat kesini,
dan tolong bawakan Indah selimut, kasihan dia kedinginan disini”
Tak
berselang lama akupun tertidur dengan posisi kepala menyandar ke sandaran sofa,
dengan tangan yang masih menggegam handphone.
***
Dini hari, aku terbangun karena
suara alarm hp-ku yang aku set otomatis. Aku terkaget, keadaan di ruangan itu
sudah tak seperti semalam. Indah yang semalam tidur di pangkuanku, kala itu
sudah terbaring di sofa yang ada di hadapanku mengenakan selimut tebalnya. Dan
aku, aku yang semalam tidur dengan posisi duduk menyandar di sofa, kini
kepalaku berada di atas pangkuan yang tak asing bagiku. Tak hanya itu, selembar
selimut tebal sudah menutupi tubuhku dari terpaan AC yang ada diruangan itu. Ku
tengok perlahan kearah si pemilik pangkuan itu, terang saja, pangkuan itu milik
Faruq. Hati ini berdesir tak karuan ketika megetahui aku tidur di pangkuannya.
Saat aku masih kebingungan dengan situasi yang ada, tiba-tiba suara Faruq
memecah lamunanku.
“Lanjutkan tidur-mu biy, ini masih jam
tiga” bisiknya memecah lamunanku.
Biy?
Dia memanggilku dengan panggilan kesayangan seperti dulu ketika kami sedang
pacaran, setelah tanpa kabar dan penjelasan atas kejadian dua minggu yang lalu?
Gumamku dalam batin. Perlahan aku bangkit dari tidurku,
“Kenapa bangun?” cegahnya,
“Kenapa bangun?” cegahnya,
“Aku belum sholat isya” jawabku
singkat.
Setelah
merasa agak enakan, akupun berjalan keluar ruangan menuju mushola yang ada. Di mushola aku menunaikan sholat isya dan sholat
malam dua rokaat. Setelah itu, seperti pada umumnya orang sholat, akupun
berdo’a. Berdo’a untuk diriku sendiri, untuk keluargaku dan tidak lupa untuk
kesembuhan Ammi. Ketika kupanjaatkan do’a untuk Ammi, tak terasa air mataku
menetes dengan derasnya. Bersamaan dengan itu pula kelebatan kejadian dua minggu
yang lalu muncul di otakku, di tambah lagi tadi Faruq memanggilku dengan
panggilan kesayangannya seperti ketika kita sedang pacaran dulu. Memang tak ada
kata putus diantara kita, namun melihat kejadian dua minggu yang lalu dan
sikanya yang tak menjelaskan apapun membuatku mengartikan bahwa hubungan kami
sudah usai. Entah mengapa Ia setega itu kepadaku, entah mengapa Ia tega bermain
dibelakangku, mengingat itu semua dada ini sesak menahan semua rasa yang ada.
Air mata tak dapat lagi ku bendung, ku akhiri do’a –ku dengan Al-fatihah.
***
Aku berjalan menyusuri
lorong rumah sakit dengan langkah gontai, di depan ruangan yang tak asing
bagiku, rasa ragu seketika menghalangiku untuk masuk, aku pun duduk di kursi
yang ada di depan ruangan. Dengan tatapan kosong, kuhirup angin pagi yang tak
ragu menerpa tubuhku. Beberapa detik berselang, keluar sosok yang sangat ku
kenal, meski sudah sangat sering ku menatapnya, tetap saja hati ini tersihir
ketika mata ini menangkap paras yang putih bersih.
“Biy, Ammi sudah siuman, beliau nyariin kamu.” Ujarnya datar.
Tanpa
pikir panjang akupun langsung masuk.
“Mmi, bagaimana keadaannya?” tanyaku
sembari memegang tangannya.
“Baik nak, terimakasih ya, sudah
bawa Ammi kesini” jawbanya dengan nada suara agak parau.
Aku
hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ammi. Kemudian terbesit keinginanku untuk
pulang, belum sampai ku utarakan niatku, tiba-tiba Faruq berkata.
“Tenang Biy, Ammi sudah boleh pulang
pagi ini” ucapnya smbari tersenyum.
“Syukurlah” jawabku dengan dada yang
sedikit sesak karena panggilan itu.
Akupun mengurungkan niatku untuk pamit, dan memutuskan untuk pulang bersama mereka.
Akupun mengurungkan niatku untuk pamit, dan memutuskan untuk pulang bersama mereka.
Pukul 07.00 WIB. Kami berkemas untuk
pulang, Ammi yang masih agak lemas dipapah Faruq berjalan ke arah mobil,
sedangkan aku dan Indah mengikutinya di belakang dengan membawa barang bawaan
yang semalam Faruq bawa. Selama perjalanan aku hanya diam dengan pikiran yang
tak karuan. Lubuk hatiku berbisik, “iya aku masih mencintainya” namun kejadian
dua minggu yang lalu membuatku berpikir ulang untuk menintainya.
Setengah jam kemudian kami sampai di
rumah Faruq, aku dan Indah memapah Ammi masuk kedalam rumah dan Faruq sibuk
memarkir mobil kedalam bagasi, dan membawa barang keluar dari mobil. Rasanya
aku tak mau berlama-lama tinggal disana, beruntung hp –ku berdering kala itu. Ku angkat panggilan
tersebut dan terdengar suara yang sangat aku kenal yaitu suara ayahku.
“Nak ada dimana?” seuara dari
seberang begitu aku mengucap salam.
“Dirumah Faruq yah, Ammi kemarin
pingsan” jawabku lirih.
Belum
ada jawaban dari ayah, aku melanjutkan kembali ucapanku.
“Iya yah, Adiba segera pulang” tegas
ku.
Setelah
menutup telefon akupun pamit pulang dengan mengendarai sepeda motor ku yang
kemaren aku tinggal dirumah Faruq.
***
Sesampainya dirumah, ayah dan ibu
langsung bertanya tentang keadaan Ammi. Iya,
mereka sudah saling kenal, keluarga kami sudah sangat dekat. Akupun
menceritakan keadaan Ammi, tapi tidak dengan keadaan hatiku yang sedang tak
karuan karna hubunganku dengan Faruq yang tidak jelas. Ammi pun sepertinya
tidak tahu bagaimana keadaan hubungan antara aku dan Faruq. Yang mereka tahu
kami baik-baik saja.
Selepas kejadian itu, tetap tidak
ada komunikasi yang jelas diantara aku dan Faruq. Meski Ia tak ada kabar, meski
kami tak pernah saling sms –an , entah mengapa aku yakin terhadapnya. Setelah
sholat aku terus selipkan namanya setelah nama kedua orang tuaku.
***
Beberapa bulan kemudian, sore itu
tepatnya tanggal 28 agustus 2015, langit begitu cerah dengan gerombolan awan
putih yang berjalan beriringan. Kala itu
aku baru pulang dari tempat kerja merasa sedikit heran melihat rumah yang rame
dan banyak orang.
dengan wajah yang agak bingung aku melangkah masuk kedalam rumah lewat pintu samping, terlihat ibu sudah berdandan dengan sangat rapih, kedekati dia dan bertanya.
dengan wajah yang agak bingung aku melangkah masuk kedalam rumah lewat pintu samping, terlihat ibu sudah berdandan dengan sangat rapih, kedekati dia dan bertanya.
“Bu, ada acara apa ini?” tanyaku
“Sudah, sana siap-siap, bersihkan
badanmu dan pakai baju yang ada di tempat tidurmu” tukas Ibu.
Aku
semakin bingung mendengar jawaban ibu, namun kuturuti saja apa yang Ibu suruh. Begitu
aku masuk kamar, aku di kagetkan dengan sebuah gaun yang sudah ada di atas
tempat tidurku. Sebuah gaun yang sangat apik, sebuah gaun yang tak biasa. Saat
aku masih kebingungan sambil memegang-megang gaun itu, suara ibu dari mulut
pintu mengagetkanku, “Sudah,
jangan diliatin terus, buruan mandi terus pakai gaun itu” tegurnya.
Akupun
menuruti apa yang dikatakan ibu, aku memakai gaun itu dengan satu pertanyaan
besar dikepalaku. Apa ini semua?
Kreek..!! suara pintu kamarku
dibuka, terlihat ibu disana.
“sudah siap nak?” tanyanya.
“sudah bu,” jawabu singkat
“Ayo keluar, sudah ditunggu”
Jawaban ibu semakin memperbesar tanya yang ada di kepala. Namun aku
tetap menurutinya, berharap akan segera mendapat jawaban atas segala tanyaku.
Ibu menggandengku menuju ruang tamu, sesampainya di ruang tamu, kulihat sosok
yang sudah lama tidak aku temui, sosok yang pernah mengiris hatiku, sosok yang
pernah membuatku resah, sosok yang namanya selalu aku selipkan setelah nama
kedua orang tuakkku. Faruq, Ia duduk di dampingi oleh walinya berhadapan dengan
bapakku dan seorang penghulu. Hari itu Ia memenuhi janjinya untuk
menghalalkanku.
Wajahnya begitu bersih dengan peci hitam yang Ia kenakan, hati ini
tak karuan melihat sosok yang selalu aku sebut dalam do’a datang dengan
serombongan keluarga meminangku, air mata tak berhasil aku bendung. Aku terisak
dalam haruku.
Selesai acara, aku dan Faruq berbincang empat mata, Ia menjelaskan
kejadian beberapa bulan yang lalu ketika ku memergokkinya dengan wanita lain.
Ia pun menceritakan tentang kedua orang tuaku yang ia ajak untuk kerja sama
tentang acara hari ini, sungguh ini semua di luar perkiraanku. Masih tak
percaya dengan semua yang terjadi, tiba-tiba Ia mendaratkan ciumannya di
keningku. Aku terkaget namun tersadar bahwa Ia sudah halal melakukannya, akupun
tersenyun haru. Mulai hari itu hidupku berubah, aku tak lagi resah dan
kebahagiaan datang di keluarga kecil kami.
Faruq pun mengajakku untuk tinggal di semuah rumah baru yang telah
Ia siapkan. Sebuah rumah yang Ia bangun dari hasil keringatnya sendiri. Aku tak
menyangka, ternyata selama Ia menghilang dari hadapanku Ia justru sibuk
memersiapkan sebuah hunian yang mungil namun indah yang dilengkapi dengan
sebuah taman bermain disampingnya. Kami pun tinggal dirumah itu dan
menghabiskan waktu berdua. Mengingat semua kejadian di warung makan dekat
kampus itu, ini semua rasanya seperti mimpi yang tak pernah terpikir kepadaku.
Mungkin inilah jawaban dari semua do’a yang selalu kupanjatkan kepada-Mu.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirim sebuah pangeran yang selalu membuat hati ini tak henti-hentinya besyukur pada-Mu.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirim sebuah pangeran yang selalu membuat hati ini tak henti-hentinya besyukur pada-Mu.
_The End_
Rima
Ayu
|
Indah
Siti
|
Nur
Iid
|
Chorida
|
3.5
|
3.5
|
4
|
3
|